Tuhan, Apakah Aku Mencintai-Mu ?

Putaran Tubuh

 

“Lots of ways to reach God, I chose love” (Rumi).

Cinta, sebuah kenikmatan hidup yang menjadikan setiap insannya berbunga-bunga merasakan dan karenanya kehidupan mempunyai warna tersendiri untuk menimbulkan keindahan. Sang Maha Cinta yang memberi rahmat dan keluasan kasih sayang tidak hanya mencurahkannya kepada sepasang kekasih, namun ke semua makhluk-Nya.

Cinta dalam bahasa arab disebut “mahabbah/mahabbat”. Ali Usman al-Hujwiri Sufi besar dari Afghanistan abad ke-11 M, menuturkan sebagai berikut: “Mahabbat (cinta) dikatakan berasal dari hibbat, yang merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di tengah gurun. Nama hubb (cinta) diberikan kepada benih-benih gurun tersebut (hibb), oleh karenanya cinta merupakan sumber dari kehidupan yang dasar sebagaimana benih yang merupakan asal tanam-tanaman. Seperti halnya jika benih-benih itu ditebarkan di gurun, mereka lantas terpendam di bumi dan hujan jatuh di atasnya dan matahari menyinarinya dan panas serta dingin lewat atasnya, namun benih-benih itu tak terpengaruh oleh perubahan musim, namun tumbuh dan memunculkan bunga-bunga dan memberi buah, begitulah cinta, bila ia memilih tempat kediamannya dalam hati, tak terganggu oleh kehadiran dan ketakhadiran, oleh suka atau duka, oleh perpisahan atau persatuan.

Tiada yang puas akan makna cinta dan merasa belum bisa menggambarkan betapa dahsyatnya. Sebagaimana dalam makna lain cinta adalah sebuah hidayah berupa perasaan untuk tidak saling membenci dan saling berbuat kebaikan. Adalah  Rabi’ah Al-Adawiyah seorang sufi yang seluruh hidupnya  dia curahkan untuk mencintai ilahi atau mahabbatullah (Cinta kepada Allah), sebuah perasaan cinta yang melebihi arti cinta itu sendiri. Sehingga cinta bukan lagi sebuah perasaan saja, namun lebih dari itu sebuah penyerahan segala apa yang dia miliki kepada yang dicintainya. Tiada lagi nafsu atau godaan duniawi yang dapat mengalahkan tingginya mahabbah kepada Tuhannya.

Rabi’ah Al-Adawiyah menyebutkan bahwa cinta lahir dari kesaksian hati kepada adanya kesempurnaan. Jika hijab yang menyelimuti hati seorang hamba dibuka oleh Allah, maka tampaklah oleh hamba tersebut keindahan dan kesempurnaan Tuhan dalam segala hal. Pada saat demikian maka timbullah cinta hakiki, karena hamba tidak lagi melihat seberapa besar kecukupan hajat hidupnya, melainkan sebuah cinta yang melintasi segala ruang dan waktu serta mengatasi segala keadaan baik suka maupun duka.

“Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5 : 59)

Syaikh Abu al-Hasan Kharqani, salah satu tokoh besar tariqat cinta, dalam sebagian ucapannya berkata, “Cinta adalah tetesan air samudera yang tidak dapat diarungi makhluk-Nya. Cinta adalah api. Siapapun tidak akan selamat bila berada di dalamnya. Cinta menghadirkan keyakinan. Bila seseorang berada di dalamnya, kabar tentang dirinya tidak akan kunjung datang. Siapa pun yang tersembunyi di dasar samudera ini tidak akan pernah tersingkap, kecuali oleh dua hal yaitu kesedihan dan rasa butuh. Setiap yang menjadi pecinta berarti telah menemukan Tuhannya; yang menemukan Tuhannya, pasti telah menjadikan dirinya sebagai permadani yang dibentangkan”.

Cinta merupakan sebuah proses untuk mencapai atau merasakan kasih sayang Tuhan. Beribu perasaan yang terjadi namun tidak dapat digambarkan, dan beribu teori telah mendefinisikan namun tak ada yang bermakna sejati karena cinta hanya dapat dihayati dan tidak dapat disifati.

Setiap orang mampu merasakan cinta, namun tidak akan bisa mendefinisikannya. Ibn ‘Arabi berkata.”Jika seorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada orang yang mengatakan ‘aku kenyang dengan cinta’, ketahuilah, ia masih buta tentang cinta, karena tak seorang pun dikenyangkan oleh cinta”.

Jika benar kita telah merasakan cinta, lalu bagaimana kita dapat mengukurnya ? Apakah cinta memiliki satuan pasti sehingga pada taraf tertentu seseorang bisa berbangga karena telah mendapatkan cinta ? Terbesit dalam pikiran bahwa cinta adalah tafsir manusia terhadap kasih sayang Tuhan yang hal itu merupakan bentuk curah kasih sayang Tuhan terhadap hambanya. Setiap orang tanpa sadar telah mendapatkan cinta dari Tuhannya sekecil apapun itu bentuknya Tuhan telah memberikan cinta-Nya kepada semua makhluknya.

Cinta bisa dijadikan sarana untuk memperhalus jiwa. Yang dapat menimbulkan kearifan berupa sifat dan perbuatan terhadap sesama manusia maupun terhadap Tuhannya. Demi mencapai cinta kepada Allah, seseorang harus melakukan latihan atau salah satu pendahuluannya saja, seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain sebagainya. Diantaranya sebagai jalan untuk mencapai taraf cinta hakiki (ma’rifat) ialah melalui tarekat.

Ketika para Pecinta Allah sudah asyik di dalam pandang memandang, maka Allah akan mendudukan ia pada “Maqom Muroqobah” sebagai jalan terbukanya Tirai “Kebenaran Hakiki/Mukassyafaturrobbani”.

Itulah Akhir dari pada pengembaraan dan perjalanan dan Itulah Puncak segala Puncak kenikmatan dan kebahagiaan. Maka sampailah ia kepada Hakikat di atas Hakikat yaitu Zat Maha Mutlak yang tidak bisa di ganggu gugat dari segala apa pun tentang diri-Nya.

Tidak ada cinta yang lebih tinggi melainkan cinta hamba terhadap Tuhannya, dan tidak akan hamba mendapat cinta dari Tuhannya melainkan hamba tersebut melakukan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya.

Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku. (Rabi’ah Al-Adawiyah)

 

Leave a comment